16 September 2011

Saya Dan Kertas Harapan

Bagus, tidak ada guru. Bukannya bagus lagi, ini malah jadi indah. Pelajaran terakhir membawa ketenangan sampai akhirnya bel berbunyi dan mengiringi kami menuju masjid. Memang, itu hari jum'at, di mana para lelaki yang merasa laki-laki berbondong bondong untuk menunaikan shalat jumat. Tapi, ini belum bel... kisah yang akan kuceritakan, kegiatan mereka ataupun kami yang akan kuberitahu, itu semua terjadi sebelum bel berbunyi, sebelum kami semua punya hak untuk keluar dari kelas tanpa perintah.

Ya, waktu itu ada pemberitahuan bahwa pelajaran terakhir itu tak akan terjadi dikarenakan alasan mendisplay kelas yang sungguh runyam dikarenakan penekanan waktu dan pembatasan kreatifitas sampai aspirasi masyarakat kelas yang tidak dihargai. Sepertinya, itu hanya terjadi di kelas itu... bukan tentang kegiatan mendisplaynya, tapi tragedi kekecewaan-nya. Sepertinya kau takkan mengerti, tapi memang sengaja kubuat kau berfikir sampai kau betul2 sadar itu tak perlu dimengerti karena bukan hal itulah yang ingin kuceritakan.

Nah, ini dia... selagi mereka sibuk memegang palu, memalu, menancap, mendokarasi, bernafas, dan sebagainya sedangkan saya yang bertopang dagu cuma hanya melihat mereka dari deretan kursi paling belakang tengah dengan muka murung sok berfikir padahal sedang menghayati lagu The Red Jumsuit Apparatus - Face Down dengan perangkat headset yang membuatku lebih tenang dan nyaman, terhindar dari keributan mereka yang kadang berupa tawa tanpa kutahu alasannya.

Selagi sibuk semua dengan kegiatan mereka dan saya yang juga sibuk dangan kegiatan saya sendiri padahal sebenarnya lebih identik dengan bersantai, tiba2 kehadiran seorang guru berjilbab membuat pandangan kami yang berbeda-beda terfokus satu arah kepadanya. Si guru mulai bicara dengan bahasa yang saya kenal sebagai bahasa indonesia dan bahasa yang saya kenal lagi sebagai bahasa inggris. Belakangan, memang saya tahu ini guru bahasa inggris, dan pasti ahli di bahasa inggris. Itu sebenarnya nda' penting juga saya definisikan, yang penting adalah tuntutan si guru. Tuntutan sopan nan tulus yang membimbing kami memiliki secarik kertas yang nantinya akan ditulisi harapan, keinginan, cita2, dan pesan2 yang akan nantinya orang tuamu akan melihatnya di acara sekolah athirah yang memang cuma orang tuanya saja yang diundang. Memang, tadi kami semua di kasi undangan. Saya punya kelemahan di situ, yaitu tak pernah menganggap penting sebuah undangan. Tak peduli itu untuk siapa, siapa yang diundang dan siapa yang mengundang. Yang penting bila terbuat dari kertas yang berisi paragraf2 rapi dengan kosa kata dan tutur kalimat yang baku nan resmi, membuat tingkat ketidakpedulianku menjadi 99%. Ya, saya malas urus begituan. Alhasil, undangan tadi saya tidak tahu ada dimana, padahal seingatku saya pegang dan tiba2 teman saya pegangkan, dan ketika minta kembali dan memang kembali lagi di tangan saya, dan habis itu saat siapa itu lupa saya juga.. dia ajak bicara saya, dan pas masuk kelas, undangan itu hilang, lenyap, tanpa jejak, layaknya asap rokok perokok aktif yang kembali dihisap perokok pasif. Sudah sudah, stop... berhenti bicara undangan saya yang pastinya takkan kembali dan itu percuma, sekarang ini guru sedang menjelaskan di depan.

Sesudah merasa menyelesaikan tugas dan amanah, si ibu guru keluar kelas meninggalkan kepercayaannya yang besar dan banyak... ya, banyak karena kami murid2 yang lebih dari satu dan bisa disebut 'banyak'. Akhirnya, mulailah mereka, memegang pulpen, menyentuhkannya pada hamparan putih kertas tengah yang barusan dirobek dan dibagi dua untuk teman samping bangkunya. Saya tadi membicarakan perempuan2 yang melakukan itu di samping kiri saya, mereka berjejeran, seperti sengaja membentuk barisan dengan aktivitas yang sama, membuat mereka terlihat begitu kompak walau keragaman adalah hal yang mencolok dari satu sama lain. Mereka bukan mulai menulis, tapi memang sudah menulis, menumpahkan secercah dan sesamudera harapan dan keyakinan di atas garis2 kertas yang membuatmu dapat menulis rapi dan lurus. Mereka menitipkan pesan di atas benda yang dulunya dari kayu itu, mentipkan pesan untuk yang nantinya digenggam penuh hikmat oleh orang tua mereka.

Ini kesempatan, peluang yang besar dan keberuntungan mungkin kalau menurutku. Untuk mereka semua yang tak punya kesempatan untuk membacotkan seluruh rasa mereka tentang harapan dan keinginan mulianya di depan orang tuanya sendiri. Taulah kalian anak muda, ada yang gengsi, jaim, malu, sok tak peduli, dan lain lain. Tapi, sepertinya secarik kertas bisa jadi penopang kerisauan dan kegelisahan mereka, untuk semua yang telah mereka pendam dan tak pernah punya kesempatan keluar ataupun membebaskan diri. Lupa sepertinya saya menceritakan di bagian sisi KIR saya, itu kebanyakan laki2nya. Mereka tertawa, mungkin menyisipkan sebuah kalimat2 mutiara yang kemudian dilantunkan dengan niat teman2nya mendengar dan kemudian tertawa bersama. Saya juga sempat tertawa, kan konyol, ya walau sempat saya tak tahu apa yang ditertawakan. Bagai kota dan desa, kota di bagian kanan dan desa dibagian kiri. Keributan ada dibagian kanan dan keheningan ada di bagian kiri. Kau pernah coba dengar lagu rock dengan pakai bagian sebelah headset, brrr... mirip2 inilah rasanya. Memang bagian kanan masih banyak pula yang sibuk, ya sibuk mencari inspirasi dulu. Bingung saya, sama dengan cerpen kah ini, inspirasi juga kadang tak perlu diperlukan dan itu adalah untuk saat ini. Mungkin sepertinya bukan inspirasi, tapi sulit menuliskan kata2 apa yang tepat orang tua yang nanti akan menggenggam surat itu dan mungkin akan melototinya. Tapi sepertinya semua sudah memikirkan itu sejak awal dan mengambil langkah utuk membentuk paragraf yang indah dan tentu membentuk kenyamanan proses membaca untuk orang tuanya.

Kembali lagi lah saya yang meggerakan leher yang memacu wajah saya menghadap kembali ke sebelah kiri. Wahh, kaget saya... ada yang menangis, dasar perempuan cepat sekali tersentuh. Ya, dan tak perlu 5 menit untukku melihat teman2 mereka yang mulai mengalirkan air mata, sampai akhirnya membasahi pipinya dan takutnya malah kena' kertas harapannya. Hmm, saya memang nda' tau apa yang mereka sedang tulis dan memang sampai waktu itu masih terus menggoreskan pulpennya. Tapi yang seperti itu sepertinya tak perlu ditanyakan lagi, manusia kan diberi kemampuan menganalisis keadaan dan menerjemahkannya kedalam arti2 yang struktural kemudian akhirnya menyesuaikan keadaan dengan kondisi orang disekitarnya, sampai mengetahui pula apa yang sedang dipikirkan orang2 tersebut.

Saya masih menujukan pandangan saya terhadap mereka. Pulpennya itu lho, pulpen mereka, pulpen yang terus2 menerus bergoyang mengikuti irama dari kiri ke kanan dan sampai akhirnya terus menerus menuju ke bawah dan kertas putih yang tadinya polos menjadi kertas yang punya banyak makna. Sepertinya, pulpen yang macet pun takkan sampai hati tuk melakukan aksi mogok tintanya... melihat pemiliknya yang telah menaruh kepercayaan penuh pada perangkat tulis tersebut. Nah, di depanku juga si ketua kelas... sepertinya menangis juga, dan bukan 'sepertinya' lagi karena memang menangis betulan. Laki2 dia, laki2 yang membuktikan bahwa laki2 juga manusia biasa yang bisa merasakan haru di saat yang tepat. Sepertinya tak perlu ada backsound mellow untuk lebih mengetuk hati mereka agar mencapai puncak perasaan harunya. Saat manusia menuangkan seluruh isi hatinya, saat itu pula air mata yang akan jadi latarnya.

Tak terasa si ibu guru bahasa inggris yang ahli bahasa inggris datang kembali mengambil hak2nya, hak2 yang pertama sebenarnya cuma berperan sebagai amanah. Semua kertas dikumpulkan, dan tunggu dulu.... mana kertasku??? Ohh iya, ternyata dipinjam teman saya.. itu dia ada di bagian kanan terlihat masih menulis sesuatu di kertasnnya sendiri sambil melirik sedikit2 ke kertas saya yang saya lupa tadi telah saya pinjamkan waktu dia ingin pinjam dan kemudian bilang "pinjam".

Sampai akhirnya itu semua terlewati atau terlewatkan, sampai berakhirnya pertunjukan mengucurkan air mata. Semua kertas sudah dikumpul. Sudah, selesai, done, finished. Ohh iya, tadi saya nda' menangis ya. Takkan bisalah saya menangis dikarenakan cuma sedikit kalimat yang saya tulis di kertas tadi. Lupa juga apa tadi isinya, sepertinya begini....


"Ya Allah, semoga semua mendapatkan nikmat dunia dan nikmat surga, amin"

"Ya Allah, saya ingin menjadi penulis, komikus, dan fotografer, amin"

    "Ya Allah, semuanya masuk surga, amin"