13 Juni 2011

Saya Dan Gunung Ajaib

Di sebuah kota, kota Makassar namanya, hiduplah seorang anak yang sedang mengendarai motor. Anak itu memakai helm karena memang sudah ketentuan dan takut kepalanya nanti pecah kalau kecelakaan, ya... itupun 'kalau'.

Itulah si anak, bertualang di kota makassar, mengarungi lautan aspal hitam yang panas, bermandikan senyuman hangat terik matahari yang menyengat, memacu gas dengan pelan namun pasti, menghirup oksigen lewat angin yang menembus raga, sampai akhirnya saya sadar kalau anak itu adalah saya sendiri.

Itulah saya, kumis tipis, rambut stengah jadi, wajah layak artis tua, bermodalkan motor hitam dan helm hitam, baju hitam, sendal hitam, celana hitam, dan celana dalam..... putih. Terpampang jelaslah anak itu kalau memang anak itu adalah saya sendiri yang saya memang tahu kalau diri saya suka sekali sesuatu yang berwarna hitam (tergantung benda apa).

Memang itu anak, suka sekali yang hitam2. Namun, bukan itulah yang ingin dibicarakan. Si anak itu (saya sendiri) sedang dalam misi untuk pulang ke rumah. pulang dengan segera sebelum beliau yang melahirkanku marah, sebelum beliau mengetahui kalau anak itu adalah saya, dan sebelum beliau mengetahui bahwa dirinya adalah ibu dari anak itu. Akhirnya, khayalan yang terus memacu anak itu untuk menancap gas dengan semakin cepat untuk menaikkan persentase keberhasilan tepat waktu untuk sampai ke rumah. Namun, keramaian tak terhindari. Saya jadi ingat satu lagu, begini lagunya : "keramaian keramaian, keramaian keramaian..... banyak yang cinta ramai, tapi perang semakin damai" ingat2, lagu yang saya nyanyikan dengan merdu dalam hati ini adalah lagu milik Band Gigi. "Semoga liriknya nda' salah", dalam batinku. Tapi memang lagu itu sangat penting, sungguh menggambarkan kondisi yang sesuai dengan pemandangan maupun pandangan saya saat ini. mungkin itu penyebabnya *sambil menunjuk sesuatu yang menyala-nyala. Ya, itu lampu merah.... warna yang saya benci, yang buat banteng jadi nda' jelas, yang keluar kalau kulit robek, yang menindisi kuning sama hijo. Ini yang buat macet, menurut analisis jenius saya.... ukuran jalan raya, jumlah populasi di daerah sekitar sini, dan lama waktu lampu merah menyala, membuat sistem transportasi yang mempunyai banyak tujuan dan jalur yang berbeda-beda menjadi terhambat. Itu memang analiasa simple, tapi cukup untuk membuat saya bisa berbasa basi sedikit.

Ya, ramai ini tentu salah saya juga, karena tanpa saya.... disini takkan seramai tanpa saya. 'gak ada loe gak rame', yahh.... embel2 yang ingin sekali saya dengar dalam kondisi ini, embel2 yang sangat ingin saya dengar saat saya sedang bercakap dengan pikiran saya sendiri. Namun, sepertinya tidak akan kesampaian. Ketidak kenalan saya sama ibu2' berkacamata yang di gonceng bapak2 yang saya hakimi sebagai suaminya di samping motor saya ini membuat saya tidak punya teman cerita. Namun, itu pula ibu2 tak bercerita sedikitpun dengan suami yang menggoncengnya, atau.. mungkin memang bukan suaminya sehingga tak terjadilah jalur kasih sayang antara meraka berdua atau mungkin meraka adalah suami istri yang tidak secerewet saya dalam kondisi tertentu sehingga tahu cara membatasi kapan harus mengobrol dan berpacaran di atas motor astrea tersebut.

Ya, kembalilah tatapan kedepan. Tatapan lurus, menunggu hijau bersinar, menuggu klakson berlomba2 menyadarkan para penduduk motor yang mungkin melamun dibuat lampu merah. Menunggu bukan hal yang membosankan bila kau ditemani khayalanmu. Inilah khayalan saya, yang setia menemani saya, yang berkhianat bila saya bercerita dengan orang lain, dan yang kadang2 menemani saya dalam tidur dengan bentuk imajinasi 3 dimensi yang menari-nari dengan tema yang kadang2 berbeda.

Dan tak dibuat bosanlah saya sampai akhirnya lampu hijau kembali terang benderang seperti sedia kala. Maaf kuning, mungkin lain kali kita bisa berjumpa. namun, perjumpaan dengan trio lampu lalu lintas di jl. toddopuli ini ternyata mempertemukan saya dengan 'gunung ajaib'.

Ya, 'gunung ajaib' saya sebut ajaib karena berbeda dengan gunung yang lainnya. Itu busuk, tak beraturan, warna abstrak, tampak menjulang tinggi namun tampak tak setinggi gunung2 yang biasanya saya lihat. Ya, inilah 'gunung ajaib'... saya beri tanda kutip agar kalian tak membayangkan gunung indah dalam khayalan kalian, saya beri nama begitu karena memang saya tidak berbakat untuk memberi nama, saya berpikir begitu karena memang saya belum punya anak dan berkewajiban untuk membantu istri men-search nama2 Islamiyah untuk anak saya, walaupun anak saya memang belum ada.

Ya, inilah saudara2 sekalian 'gunung ajaib'. 'Gunung ajaib' yang orang2 sebut sebagai tumpukan sampah, yang orang2 menutup hidungnya bila berdekatan dengan itu, yang orang2 sebagian berada di 'gunung ajaib' itu untuk mengais rezeki, yang orang2 sebagian itu tak perlu menutup hidungnya lagi di situ. dan saat itulah saya menyaksikannya, ini bukan kekuasaan Allah yang maha indah.... namun ketidak kuasaan manusia terhadap ciptaannya sendiri. Ya, inilah saya sebut kembali tanpa tanda petik, inilah tumpukan sampah, gunung sampah, apalah istilahnya yang penting saya benar2 tidak berbakat dalam memberi nama pada sesuatu.

Berapa detik saya lewat di depan itu, saya juga lupa. Anak itu akhirnya memutuskan untuk berhenti sejenak, memarkirkan motornya di tempat di mana tempat itu bukan tempat parkir,  membalikkan leher karena posisi arah motor dan tempat 'gunung ajaib' berlawanan. Anak itu hanya diam dan merenung. khayalan tak ada, hanya merenung, hanya berfikir, tak ada animasi seperti biasanya, tak ada basa basi seperti biasanya. Kau tahu mengapa, inilah saat saya merasa kesal, kesal yang membuat semua imajinasi dan khayalan saya lari hilang tanpa jejak, kesal yang membuat saya ingin tahu siapa yang bersalah dan kenapa saya patut ataupun harus kesal.

Didepanku inilah dosa manusia, berbentuk berbagai macam benda, dari padat sampai cair. Ini dosa manusia yang bergunung, yang menjulang tinggi, dan yang kuyakini hanya sebagian kecil dari banyak. Sampah adalah ciptaan manusia, koleksi yang tak pernah diakui namun semua orang mengoleksinya, dan sekarang, dosa, koleksi atau istilah apa saja yang cocok untuk sebuah bencana ini ada di depan saya.

Hahha, ingin tertawa saja, tertawa kesal yang pasti membuat orang lain mengira saya orang gila dengan sebab yang mereka tidak tahu. Ohh iya, lupa memerhatikan meraka, mereka yang mendaki 'gunung ajaib', mereka yang mengais dosa2 itu, mereka yang berpakaian unik dari manusia2 lainnya, dan mereka yang saya kasihi, yang saya kasihani.

Dari pengamatan saya, itu adalah sebuah pekerjaan, perkerjaan mulia menurutku. tak perlu nama perkerjaannya, saya malas bilang karena identik di telinga masyarakat dengan pekerjaan yang menjijikkan, telinga mereka yang tidak mengerti mereka, atau mereka yang membuat telinga mereka untuk tidak akan pernah mengerti tentang mereka.

Saya beri nama lagi saja, ini namanya 'Pekerjaan Mulia'. Memang mulia lah, mereka mempertanggung jawabkan dosa2 dan koleksi manusia yang tak berguna, mempertanggung jawabkan barang yang bukan hak-nya yang telah menjadi kewajibannya, mempertanggung jawabkan dampak dunia dalam bentuk kecil namun arti besar.

Tujuan mereka, tentunya mencari rezeki, memberi makan keluarga maupun orang2 yang mereka sayang, memberi makan diri mereka sendiri. pekerjaan halal mereka, tak perlu gengsi2an, tak perlu repot2 tampil sempurna, tak perlu memikirkan apa yang mereka akan korupsi, dan perlukah saya membandingkan dengan orang tua - orang tua disana yang bersahaja, berdasi, berpeci, berkilauan, berkharisma, dan ber- yang semua adalah sok. Sok yang menyembunyikan tuduhan mereka sebagai manusia yang tak bermoral, yang menutupi mereka dari sebutan koruptor yang merampas hak negara, yang menyembunyikan harga diri mereka yang lebih rendah sebagai koruptor dibanding 'pekerjaan mulia' yang sebelumnya saya bilang. Wahai ibu bapak non kandungku, sadarlah kalian, sampah dan koruptor punya hubungan yang erat. Kalian mungkin belum menyadarinya, tapi 'belum' adalah dimana proses menuju pencapaian, dan berharaplah sampai itu tercapai.

Saya berdoa untuk kalian, dan mungkin manusia2 perkerja mulia itu malah lebih dahulu mendoakan kalian. Mendoakan kalian sehingga kalian sadar betapa riangnya hidup mereka tanpa kebohongan. Kejujuran ditemani tumpukan sampah, sampah yang sedikit mengotori jalan mereka dalam mencapai cara pandang yang sederajat dari orang lain yang tak mengerti sepenuhnya akan mereka.

Tak sadarlah saya, tak sadar telah berlinang air mata, walau itu cuma dalam bidang khayal saya yang secara tiba2 kembali nongol, dan kuharap air mata itu nyata karena memang tak pernah ada air mata di hari itu. Hmm, tapi mungkin ada, di mereka si pekerja mulia, walau kuharap jangan ataupun takkan pernah ada dikarenakan kesedihan dan ketidakkuasaan.

Dan mungkin cukup sampai disini, 'gunung ajaib' dan teman2nya pun membuat saya lupa sekilas akan ekspresi si ibu yang telah menyuruhku sedari dulu pulang. Ok lah, dan anak itupun kembali menancapkan gasnya dan kembali mengadakan kontrak kerja sama dengan motornya agar sistem bisa membuatnya kembali pulang dengan lebih cepat dan baik. "dadah 'gunung ajaib'", kulambaikan tangan pada itu sampah yang menjulang tinggi, seperti meninggalkannya dan akan bertemu kembali dengan kondisi yang lebih baik satu sama lain. Kuharap begitu, sampai ku betul2 jauh dan tak terlihat oleh si 'gunung ajaib' yang tak punya mata, dan sampai ku tak lihat pula sampah itu lagi karena memang saya sedang menghadap ke depan dan tidak membalikkan pandangan kebelakang di mana 'gunung ajaib' itu berada, dan dimana kemungkinan akan membuat saya mendapatkan kecelakaan yang fatal.

Terus melihat kedepan dengan pandangan lurus. "I'm coming, mama", kata hati anak tersebut.